Martabat Manusia, Kekerasan Simbolik dan Krisis Sportivitas

oleh -418 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Anselmus DW Atasoge

Insiden pemukulan wasit dalam pertandingan Liga 1 Flores Timur di Lapangan Apebuan, Adonara (Kamis/16/10/2025) merupakan sebuah catatan refleksi atas lemahnya internalisasi nilai martabat manusia dalam praktik sosial kontemporer. Dari sudut pandang sosiologis, kekerasan dipahami sebagai manifestasi dari ketegangan sosial yang tidak terkelola secara konstruktif. Tindakan tersebut menunjukkan (untuk sementara) kegagalan institusi olahraga dalam membentuk ‘habitus sportif’ yang berorientasi pada etika dan penghargaan terhadap sesama.

Kekerasan terhadap wasit tidak dapat dipandang sebagai peristiwa terisolasi. Fenomena ini merupakan bagian dari pola sosial yang lebih kompleks. Pola tersebut meliputi fanatisme lokal yang berlebihan, tekanan kolektif yang tidak terkendali, dan absennya pendidikan karakter dalam sistem kompetisi. Ketiga elemen ini memperkuat normalisasi perilaku agresif di ruang publik.

Pierre Bourdieu mengidentifikasi fenomena serupa sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan ini tidak terjadi melalui paksaan fisik langsung, tetapi melalui mekanisme dominasi yang dilegitimasi oleh struktur sosial. Dalam konteks Liga 1 Flores Timur, kekerasan terhadap wasit nampaknya ‘diterima secara sosial’ oleh sebagian penonton dan pemain. Penerimaan ini muncul karena adanya pembiasaan terhadap tindakan agresif dan rasionalisasi emosional yang tidak dikritisi secara reflektif. Juga bisa jadi karena sejauh ini insiden serupa tak terkelola dan terselesaikan secara baik.

Dalam dunia olahraga, sportivitas sering diklaim sebagai nilai utama. Banyak pihak menyatakan komitmen terhadap kejujuran dan penghargaan terhadap sesama. Namun, tindakan-tindakan kekerasan dalam dunia olah raga ini semisal pemukulan terhadap wasit menunjukkan adanya kontradiksi antara pernyataan dan kenyataan. Pengakuan terhadap martabat manusia tidak selalu diikuti oleh perlindungan konkret terhadap individu yang menjalankan fungsi keadilan.

Budaya pencitraan memperkuat kontradiksi tersebut. Klub dan panitia pertandingan sering menampilkan citra sportif melalui media. Penonton juga ikut membentuk narasi publik yang tampak etis dan teratur. Namun, di balik representasi tersebut, etos sportif tidak selalu dibangun secara konsisten. Praktik sosial di lapangan menunjukkan lemahnya internalisasi nilai-nilai dasar dalam kompetisi.

Ketidaksesuaian antara simbol dan praksis menjadi masalah struktural. Retorika tentang sportivitas tidak selalu mencerminkan realitas sosial yang terjadi. Representasi visual dan verbal tidak menjamin adanya keselarasan dengan tindakan nyata. Fenomena ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan dan komunikasi nilai dalam dunia olahraga lokal.

Sejatinya, lapangan sepak bola memiliki ‘fungsi sosial’ yang melampaui dimensi fisik. Ia menjadi ruang tempat nilai-nilai sosial diuji melalui interaksi antarindividu. Ia juga menjadi ‘arena reproduksi norma dan perilaku kolektif’. Sebenarnya, Liga 1 Flores Timur memiliki potensi sebagai ‘laboratorium etika sosial’ yang dapat membentuk karakter masyarakat.

Tanpa intervensi struktural dan kultural, lapangan dapat kehilangan fungsi edukatifnya. Ia dapat berubah menjadi ruang ekspresi kekuasaan yang tidak terkendali. Ia juga dapat menjadi tempat dominasi simbolik yang merusak relasi sosial. Kekerasan dan fanatisme dapat tumbuh jika tidak ada regulasi yang mendidik.

Transformasi cara pandang terhadap kompetisi menjadi kebutuhan mendesak. Pendidikan karakter perlu dimasukkan dalam sistem pelatihan olahraga. Wasit harus diposisikan sebagai ‘simbol keadilan’ yang wajib dihormati. Penonton perlu dibentuk sebagai komunitas etis yang mampu mengendalikan emosi dan menghargai martabat sesama.

Liga 1 Flores Timur perlu dimaknai sebagai ‘ruang pendidikan sosial’. Kompetisi tidak cukup diukur dengan skor dan kemenangan. Pertandingan harus menjadi sarana pembentukan karakter. Lapangan harus menjadi tempat pertumbuhan nilai kejujuran dan sportivitas. Setiap individu yang terlibat harus belajar menghargai sesama sebagai pribadi yang bermartabat.

Dan, martabat manusia harus menjadi prinsip utama dalam setiap aktivitas sosial. Masyarakat yang sehat dibangun di atas penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Kekerasan tidak boleh diberi ruang dalam sistem yang mendidik. Transformasi sosial hanya mungkin terjadi jika etika dijadikan fondasi. Olahraga lokal harus menjadi cermin dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam komunitas.***

Penulis adalah Staf Pengajar pada STIPAR Ende Flores

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.