Dari Romantisme Hukum Menuju Pendidikan Peran Guru sebagai Penjaga Volkgeist Indonesia

oleh -161 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Rikardus Undat

Dalam beberapa tahun terakhir, pembicaraan tentang hukum dan pendidikan di Indonesia sering bergerak dalam ruang harapan yang besar penuh idealisme, penuh impian tentang masa depan yang adil, cerdas, dan bermartabat. Kita sering menempatkan hukum sebagai pilar keadilan dan pendidikan sebagai pilar peradaban.

Namun, keduanya tidak selalu berjalan harmonis dalam kenyataan. Riset sosial nasional menunjukan bahwa penegakan hukum sering kehilangan sentuhan moral yang konsisten. Pada saat yang sama, pendidikan yang kita sebut sebagai jalan paling mulia untuk membentuk karakter bangsa masih menghadapi tantangan struktural yang belum terselesaikan. Dalam konteks inilah, gagasan dari romantisme hukum menuju romantisme pendidikan, menjadi relevan sebagai ajakan untuk melihat pendidikan, khususnya peran guru, sebagai penjaga volkgeist indonesia jiwa dan nilai-nilai dasar masyarakat yang di wariskan dari generasi ke generasi.

Romantisme hukum selama ini sering hidup dalam imajinasi publik sebagai bayangan tentang sistem hukum yang bersih, adil, dan melindungi semua warga negara. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Ketika praktik hukum berjalan tidak selaras dengan teori yang di ajarkan, masyarakat sering merasa jauh dari keadilan. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, beberapa penelitian menunjukkan bagaimana masyarakat terkadang lebih percaya kepada norma sosial yang di wariskan ketimbang hukum formal yang diharap menjadi benteng utama.

Disinilah pendidikan memikul tanggung jawab moral yang lebih berat dari pada sekadar mengajar kurikulum. Ketika hukum goyah, pendidikan harus berdiri lebih tegak. Guru menjadi figur pertama yang menjaga konsistensi nilai etis ketika praktik hukum tidak memberikan contoh yang cukup baik. Dalam ruang kelas kecil yang tampak sedrhana, guru menanamkan kembali nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab yang mungkin tersendat di luar nalar.

Gagasan volkgeist atau jiwa bangsa berasal dari pemikiran Friedrich Carl Von Savigny dalam teori hukum abad ke 19. Baginya, hukum bukan hidup dari karakter, tradisi, dan nilai suatu masyarakat, bukan seadar aturan tertulis. Namun dalam konteks Indonesia masa kini, volkgeist bukan hanya dihidupkan oleh penegak hukum, tetapi terutama oleh para guru.

Guru adalah aktor sosial yang paling dekat dengan generasi muda. Jika hakim menjaga hukum, guru menjaga nilai. Jika undang-undang menerbitkan perilaku, guru menata karakter. Di banyak riset pendidikan seperti yang terbit di Jurnal of Educational Psychology dan studi UNESCO tentang pendidikan karakter, guru selalu ditempatkan sebagai faktor kunci terbentuknya moral generasi muda. Maka, romantisme pendidikan sesungguhnya lahir dari keyakinan bahwa guru dapat menjadi penjaga jiwa bangsa penjaga nilai yang tidak selalu bisa dilindungi oleh sistem formal negara.

Sayangnya, romantisme pendidikan yang begitu indah sering kali tidak sejalan dengan realita kehidupan guru di lapangan. Kita sering memanggil mereka “pahlawan tanda jasa’’ tetapi sistem justru tidak memberi cukup ruang dan dukungan agar mereka bekerja dengan damai. Romantisme yang tidak didukung kebijakan hanya akan menjadi puisi kosong yang tidak menyentuh persoalan nyata. Jika bangsa sungguh ingin guru menjaga volkgeist indonesia, maka negara harus terlebih dahulu menjaga martabat para guru.

Romantisme pendidikan yang sejati bukanlah pujian berlebihan pada guru, melainkan keberanian untuk membangun struktur pendidikan yang memungkinkan guru berkembang. Reformasi pendidikan harus berangkat dari riset dan pengalaman nyata di lapangan, bukan sekadar kebijakan yang lahir dari ruang rapat. Banyak negara yang berhasil membenahi pendidikan nasional. Jika demikian, Indonesia harus bergerak dari retorika menuju perbaikan konkret pelatihan berkala yang berkualitas, perlindungan hukum bagi profesi guru, peningkatan kesejahteraan yang adil, pengurangan beban administratif, dan pemerataan fasilitas pendidikan hingga ke pelosok.

Dalam pendekatan yang lebih luas, pendidikan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk manusia yang mampu berpikir jernih, berprilaku etis, dan memiliki rasa kebangsaan yang kuat. Volkgeist Indonesia hidup bukan melalui simbol-simbol besar, tetapi lewat nilai sederhana yang diajarkan guru setiap hari, salam sopan, disiplin, kerja sama, empati, dan rasa hormat. Nilai-nilai kecil namun fundamental ini adalah fondasi yang membentuk bangsa dalam jangka panjang. Dan tidak ada lembaga yang lebih konsisten menjaganya selain sekolah dan ruang kelas. Guru menjadi semacam penjaga moralitas yang bekerja dalam senyap, jauh dari kamera dan panggung politik, tapi justru memegang masa depan di tangan mereka.

Dengan kata lain, pergeseran dari romantisme hukum ke romantisme pendidikan bukanlah ajakan untuk meninggalkan hukum, melainkan untuk menyadari bahwa pendidikan memiliki peran yang lebih mendalam dalam menjaga jiwa bangsa. Jika hukum adalah aturan yang mengatur, pendidikan adalah cahaya menuntun. Jika hukum memaksa dengan kekuasaan, pendidikan membentuk dengan kesadaran. Di tengah krisis moral, ketidakpastian sosial, dan perubahan budaya yang cepat, guru tetap menjadi penjaga paling setia dari volkgeist Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widiya Mandira Kupang

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.