Ihwal Bangsa Bermental Inlander

oleh -148 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Irawaty Nusa

Dalam sebuah hadis Nabi dinyatakan, bahwa Allah tidak melihat fisik dan wajah kita tetapi apa yang terlintas dalam kalbu kita. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat semesta hanya akan merespons getaran dan vibrasi dalam diri manusia, bukan pada pengakuan kata-kata bersandiwara, yang seringkali tak selaras dengan kehendak hati nurani. Begitu pun dengan doa dan afirmasi yang sulit direspons oleh semesta, jika belum selaras antara apa yang dinyatakan dengan apa yang tersirat di dalam kalbu.

Untuk itu, orang bermental kaya, sejatinya adalah seorang dermawan yang tangannya di atas ketimbang tangan di bawah. Ia menjadikan kebiasaan memberi dan mengulurkan tangan sebagai “habit” dan hobi yang menyenangkan. Orang bermental kaya tak perlu harus pilih-pilih barang saat membeli, bahkan tak perlu harus menawar dengan harga murah. Apalagi jika pedagangnya dari kalangan rakyat kecil yang marjinal.

Mereka yang bermental kaya akan mendorong dirinya menuju potensi yang membuatnya merasa cukup, ketimbang merasa dirinya serba kurang dan miskin. Pikiran bawah sadarnya bermain di ranah kuantum yang melampaui tubuh manusia sebagai entitas tanpa batas. Mereka fokus pada pengetahuan yang memberi kesadaran untuk mendobrak mental miskin, yang bersumber dari getaran dan frekuensi rendah. Mereka menyadari, bahwa kelimpahan sudah ada dalam DNA manusia sejak sang bayi masih mengonsumsi plasenta, bahkan sejak keluar rahim dan mengonsumsi ASI.

Arus kelimpahan sudah ada di jagat semesta ini, sedangkan tugas manusia hanya mengikuti arus pusaran cinta kasih Tuhan Yang Maha Rahim. Tetapi, jika batin manusia membangun kontradiksi, seakan ia menjauh dari pusaran yang ada, apalagi sampai melawan arus. Untuk itu, mental perlawanan itulah yang disebut “kufur nikmat” dan melawan hukum kodrat manusia yang mestinya mensyukuri anugerah kehidupan ini.

Mereka yang bermental miskin selalu berada dalam getaran vibrasi yang rendah, kurang bersyukur, takut hilang dan tertinggal, selalu merasa ragu, khawatir dan panik. Padahal, semesta akan merekam saat kita rajin bersyukur, pandai memberi dan mengulurkan tangan dengan ikhlas. Dan keberkahan rizki yang kita sumbangkan, pasti akan berlipat-lipat tergantikan, tanpa tertukar dengan hak milik siapa pun.

Dalam ajaran agama apa pun, manusia diperintahkan untuk berbagi dan mengalirkan rizkinya, tak perlu merasa takut berkurang. Sebab, memberi dengan perasaan cinta dan rasa syukur, tentu feedbacknya akan beda dengan memberi karena terpaksa (disuruh). Bagaimana pun, sifat uang sangat berkaitan dengan relasi hidup di sekeliling kita, seperti istri dan anak, orang tua, kakak-adik, saudara-kerabat, tetangga, sahabat, hingga anak-anak yatim dan fakir miskin di sekitar kita. Mereka itulah yang harus diprioritaskan ketimbang yang lainnya.

Ini selaras dengan ajaran agama apa pun, bahwa perkaranya bukan sebatas urusan baju dan pakaian syariat yang diadopsi dari fiqih dan tradisi suatu bangsa (Arab). Tetapi, yang paling utama, harus mencontoh jejak-langkah yang merupakan cermin hidup Rasulullah sebagai teladan qalbu. Pada tiap-tiap agama mencerminkan syariat dan fiqihnya masing-masing, tetapi pada aspek hakikat dan makrifat, kita akan menemukan harmoni dan keselarasan dengan pesan-pesan semesta yang bersifat ilahiyah.

Selain itu, sebagai manifestasi rasa syukur, perlu ditegaskan, bahwa sifat rizki sangat bergantung pada bentuk irama nafas yang tenang dan rileks. Sifat uang (rizki) tak mau ditarik paksa, karena semakin kita kejar seringkali ia semakin menjauh dari diri kita. Rizki yang ditarik paksa, dampaknya tidak menguntungkan, tak dapat dinikmati, cepat hilang dan menguap tanpa bekas. Irama nafas yang disyukuri sangat menentukan kualitas rizki kita. Ritme nafas yang baik akan menentukan ide dan gagasan yang baik, bahkan mengubah sistem saraf, hormon dan struktur anatomi kita. Ia akan selalu sinkron dan selaras dengan frekuensi tubuh. Seseorang sulit bermental kaya, manakala nafas dan pikirannya dibiarkan mengirim sinyal kekurangan.

Alam semesta selalu mengalirkan rizki, bagaikan kipas angin yang tak henti-henti berputar dan menyalurkan kesejukan. Tetapi, jika kita tak mensyukuri rizki yang paling utama (oksigen), selamanya kita tidak menyadari pentingnya nafas kehidupan, dan dengan sendirinya kita selalu membelakangi kipas angin di depan kita. Sikap yang tidak sadar nafas, akan mudah melalaikan rizki Tuhan yang lainnya, seperti nikmat air bersih, makanan, kebutuhan hidup yang dimiliki dan lain-lain. Jadi, hakikat rizki yang melimpah di alam semesta ini, manusia sendirilah yang membocorkan plasenta lantaran kufur nikmat dan melalaikan anugerah kehidupan tadi.

Ketahuilah, bahwa rizki itu tidak selalu memihak yang lebih cerdas, kuat, maupun yang berprestasi di kelas dan kampus. Bahkan, juga tidak selamanya memihak yang bekerja keras dan membanting tulang. Tetapi, sifat rizki akan selalu memihak yang selaras dan telah berdamai, dan di situlah kualitas syukur dapat terbaca oleh semesta. Untuk itu, perlu adanya pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), atau semacam Prana dan Chi dalam istilah India dan Cina. Suatu pemahaman yang tak jauh berbeda dengan kalangan sufi yang dapat mengendalikan emosi dan jiwa dengan mengatur ritme dan zikir nafas, yang biasa dilakukan dalam kesunyian dan keheningan (sepertiga malam).

Pada momen itulah nafas manusia dapat menyatu dengan ritme semesta. Manusia merasa yakin akan kebesaran dan keagungan Allah Yang Maha Kaya dan Maha Meliputi jagat mikro dan makro semesta ini. Manusia akan siap dan bersyukur, rendah hati saat menerima kelimpahan, tenang dan sabar saat menghadapi masalah, bahkan badai prahara sedahsyat apa pun. Kita bisa memahami, jika nafas para sufi dan waliullah telah menjadi zikir kalbu, sebagai portal spiritual yang menyatu dengan Sang Maha Rahman Rahim. Hidup mereka merasa tenang dan bahagia, karena merasa yakin bahwa murka Allah-pun akan dapat dikalahkan oleh kasih sayang-Nya. Sebagaimana hukum Arsy yang dapat mengubah hukum takdir di Lauhul Mahfudz.

Jadi pada prinsipnya, manusia sukses akan sanggup menyeimbangkan akal dan nafasnya. Sifat rizki itu menunggu jeda sampai manusia hidup tenang dan siap menerima kelimpahan. Manusia modern saat ini, banyak yang tidak menyadari bahwa semakin bersih nafas, semakin sinkron dengan semesta, dan dengan demikian jiwa manusia tidak kering dan mati.

Ini tidak serta-merta “nafas” itu bisa membuat orang menjadi kaya-raya, tetapi dengan sadar nafas orang bisa selaras dengan semesta. Dan orang yang sudah selaras dengan frekuensi semesta, tidak bisa tidak kaya, karena semesta hanya tunduk kepada orang-orang yang jiwanya damai dan tenang.

Memang, ketenangan itu bukanlah tujuan akhir, tetapi ia merupakan jalan tol menuju keberlimpahan. Karena, dalam batin yang bersih, semesta akan tunduk, patuh, dan memberi tanpa adanya syarat dan hambatan. Jadi, manusia tak perlu menyibukkan diri, saling sikut kiri dan kanan tak keruan, karena bagaimana pun para konsumen bukan membeli produk-produk Anda, tetapi mereka hanya membutuhkan energi-energi Anda. Untuk itu, buat apa manusia mengejar hidup sampai lupa bernafas, sementara Allah tak pernah menyuruh mereka tergopoh-gopoh mengejar rizki, hingga pontang panting super sibuk tak ada juntrungan.

Ketahuilah, dalam mensyukuri anugerah dan sadar nafas, manusia dapat fokus bekerja, tidak perlu melompat sana sini. Bahkan, pekerjaan sebulan dapat dilipat jadi seminggu, bahkan pekerjaan sepuluh tangan hanya dibutuhkan tenaga satu tangan saja. Karena itu, sekaya apapun harta yang dimiliki, jika nafasnya pendek, manusia akan tetap merasa miskin dan kekurangan.

Sekarang, mari kita syukuri apa yang ada, ikhlaskan yang sudah lewat. Selagi nafas masih ada, harapan tak akan pernah pudar. Bersihkan cermin hati yang berdebu dengan irama nafas yang baik. Sadari kekurangan dan kelemahan kita, satukan dua kutub ekstrim yang selama ini membelenggu nalar, yakni mereka yang memusuhi dunia di satu sisi, juga mereka yang skeptis dengan spiritual di sisi lain. Dengan menyadari nafas syukur, kita dapat menemukan penghubung antara dunia fisik dan energi, bahkan antara pekerjaan dan keajaiban.

Kita harus melakukan hijrah dari nafas ketakutan menuju nafas penuh harapan dan keyakinan. Spiritualitas apa pun akan terasa hampa tanpa adanya pengaturan irama nafas. Kini, udara yang kita hirup boleh jadi pernah bersemayam dalam paru-paru para Rasul dan Waliullah terdahulu. Kita bertanggungjawab melahirkan generasi-genarasi baru yang sadar nafas, hingga menjadi anak-anak bangsa yang bertakwa, pandai bersabar dan bersyukur. Itulah yang disebut “anak soleh” yang didambakan dan dicita-citakan semua agama di muka bumi ini.

Kalau kita sanggup mengatur energi dengan nafas dan pikiran tenang, maka lawan bicara juga akan terbawa tenang. Dan Anda pun akan ikut terbawa tenang saat membaca opini saya ini. Karena bagaimana pun, ketenangan adalah modal dasar bagi hidup berkelimpahan.  (*)

Penulis adalah seorang peneliti, juga penulis opini dan prosa di berbagai media, seperti NU Online, Suara Merdeka, Kabar Madura, Radar Mojokerto, Majalah Elipsis, janang.id, nusantaranews.coruangsastra.comlitera.co.id, Jurnal Toddoppuli dan lain-lain.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.