RADARNTT, Jakarta – Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza, menyoroti gelombang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) di sejumlah daerah yang mencapai 250 persen hingga 1.200 persen.
“Sejumlah daerah menaikkan PBB-P2 secara fantastis mulai dari 250 persen hingga 1.200 persen. Beberapa daerah berdalih bahwa kenaikan PBB-P2 di daerahnya merupakan bagian dari penyesuaian peraturan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomior 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), ujar Handi Risza”
Menurutnya, PBB-P2 merupakan pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi maupun badan, dengan pengecualian kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
“Bumi diartikan sebagai permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi,” jelasnya.
Handi menekankan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU HKPD menetapkan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2, yang ditentukan setiap tiga tahun sekali. Namun, untuk objek tertentu, NJOP dapat ditetapkan setiap tahun oleh kepala daerah.
“Celah regulasi ini dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk menentukan NJOPnya sendiri tanpa berkonsultasi dengan Kepala Daerah di atasnya atau Kementerian terkait dan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang menghimpit masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kenaikan PBB-P2 ini kerap menjadi jalan pintas bagi pemerintah daerah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah tuntutan kemandirian fiskal. PBB-P2 dinilai sebagai instrumen yang cepat dioptimalkan karena kewenangan penyesuaian NJOP berada di tangan pemerintah daerah sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh perlambatan transfer pusat, berkurangnya dana bagi hasil sumber daya alam, dan stagnasi retribusi.
Menurut Handi, pemerintah daerah sebenarnya memiliki opsi lain yang lebih berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan.
“Langkah awalnya adalah memperluas basis pajak dengan memperbarui pendataan objek pajak secara digital, menutup kebocoran, dan memastikan semua wajib pajak teridentifikasi,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa potensi BUMD di sektor air bersih, energi dan pariwisata lokal juga bisa dioptimalkan, termasuk pengelolaan aset daerah yang menganggur melalui skema kerja sama dengan pihak ketiga.
Handi mengingatkan bahwa kenaikan PBB-P2 secara drastis berpotensi menimbulkan efek kejut (tax shock).
“Memaksakan kenaikan PBB-P2 secara drastis, berpotensi menciptakan efek kejut (tax shock) yang bisa memukul daya beli dan konsumsi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah bawah yang memang sudah mengalami penurunan secara signifikan,” tegasnya.
Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah resistensi publik dalam bentuk protes, tunggakan pembayaran, gejolak sosial, hingga gugatan hukum terhadap NJOP yang dinilai memberatkan. Dalam jangka menengah, kebijakan ini juga berpotensi melemahkan iklim investasi properti dan sektor konstruksi, terlebih jika tidak dibarengi perbaikan layanan publik.
“Risiko yang lebih serius adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah ketika pajak naik tanpa transparansi penggunaan, yang pada akhirnya menurunkan kepatuhan pajak secara sistemik dan mempersulit target pendapatan di masa depan,” kata Handi.
Ia pun mengajak semua pihak untuk menahan diri dan mencari solusi terbaik.
“Kami mengajak semua pihak menahan diri dan membicarakan persoalan ini dengan bijak dan solutif, DPRD, Pemda dan Pemerintah Pusat harus mencari solusi dan jalan keluar yang terbaik. Menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat luas harus menjadi fokus utama dalam pengambilan kebijakan,” pungkasnya.
Daftar Daerah yang Naikkan PBB selain Pati
Peristiwa Bupati Pati menaikan PBB-P2 bukan satu-satunya terjadi di Indonesia. Isu kebijakan kenaikan tarif pajak hingga ratusan persen pun terjadi di berbagai daerah, seperti Cirebon, Jombang, Semarang, hingga Bone, Sulawesi Selatan.
Banyak pihak menyebut, situasi di Kabupaten Pati Jawa Tengah hanyalah awal dan pembuka bagi aksi-aksi selanjutnya jika kebijakan semakin menyulitkan rakyat. Lalu, daerah mana saja yang menaikkan PBB selain di Pati? Simak penjelasan berikut ini dilansir tirto.id.
Kota Cirebon, Jawa Barat
Kota Cirebon merupakan salah satu daerah yang diterpa isu kenaikan PBB besar-besaran. Hal itu membuat masyarakat melakukan gelombang penolakan, salah satunya oleh Paguyuban Pelangi Cirebon pada Selasa (12/8/2025). Massa turun ke jalan untuk mendesak pemerintah daerah mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang dinilai memberatkan warga.
Juru bicara Paguyuban Pelangi, Hetta Mahendrati, menilai kebijakan itu tidak realistis di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih. Ia juga berharap keputusan tersebut bisa dikaji ulang oleh pemerintah daerah.
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, merespons penolakan warga atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai hampir 1.000 persen. Dia mengaku sudah membahas persoalan ini sejak sebulan lalu.
“Mudah-mudahan minggu ini kita sudah punya formulasi yang pas, sesuai keinginan masyarakat,” kata Edo saat ditemui di Balai Kota Cirebon, Kamis (14/8/2025).
Kabupaten Jombang, Jawa Timur
Diketahui, PBB-P2 Jombang naik hingga 800%. Ini terjadi pada beberapa warga. Salah satunya yakni Anis Purwatiningsih, warga Desa Sengon, Jombang, menerima tagihan yang awalnya Rp400 ribu menjadi Rp3,5 juta untuk dua tahun.
Warga lain, Joko Fattah, nominal pajaknya mengalami kenaikan dari yang semula Rp400 ribu pada 2023 menjadi Rp1.238.428. Ia pun melakukan protes dengan membawa uang koin pecahan Rp200, Rp500, dan Rp1.000 untuk membayarnya.
Bupati Jombang, Warsubi, menyebut bahwa kenaikan ini merupakan implikasi dari kebijakan terdahulu sebelum ia menjabat. Ia menyatakan, ia tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang berimbas pada kenaikan tarif PBB-P2 selama menjadi bupati. Katanya, tarif yang dikenakan pada 2025 ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Di sisi lain, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang, Hartono, menyatakan bahwa kebijakan kenaikan pajak terjadi secara nasional. Kemudian, di daerah dilakukan pembaruan data.
Pemkab Jombang menyebut, sudah 14 tahun tidak dilakukan pembaruan data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah sebelumnya dari Kantor Pajak hanya menyerahkan data tanpa dilakukan pembaruan. Kemudian, Pemkab bekerja sama dengan pihak desa melakukan pembaruan data.
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Kabupaten Semarang tidak luput dari isu kenaikan PBB-P2 hingga 400% yang dialami oleh sejumlah warga. Banyak masyarakat yang mengeluhkan adanya kenaikan pajak hingga 5 kali dari angka sebelumnya.
Kepala Badan Keuangan Daerah (BKUD) Kabupaten Semarang, Rudibdo, menjelaskan bahwa kenaikan tersebut karena beberapa faktor. Salah satunya yakni lokasi properti yang dinilai lebih strategis.
Rudibdo mengatakan, penyesuaian PBB dilakukan setelah ada penilaian terbatas di bidang tanah yang mengalami perubahan nilai, khususnya yang berada di ruas jalan strategis.
“Khususnya di ruas jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten, juga dalam rangka menyesuaikan nilai Zona Nilai Tanah (ZNT) yang dikeluarkan oleh BPN,” kata Rudibdo seperti dikutip dari CNNpada Kamis (14/08/25).
Ia juga menjelaskan, penilaian PBB dilakukan berdasarkan transaksi riil yang terjadi di lokasi tersebut. Setiap transaksi akan diverifikasi oleh penilai pajak, dilengkapi dengan tanda tangan kepala desa atau kepala dusun guna memastikan keabsahannya.
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
Protes terhadap kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen berakhir ricuh pada Selasa, 12 Agustus 2025. Di depan kantor DPRD Bone puluhan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terlibat bentrok dengan aparat. Tak lain karena massa aksi merasa kecewa, aspirasi mereka tidak ditanggapi sehingga mencoba masuk ke gedung.
Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinong, menyebut bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap pembahasan. Dirinya menegaskan, kenaikan tersebut tidak memenuhi asas legalitas penetapan dan berkomitmen mengawal pembatalannya.
Di samping itu, Kepala Bapenda Bone, Muh Angkasa, membantah tidak melakukan sosialisasi, meski memang sosialisasi tersebut belum terlalu masif. Sebelumnya, diberitakan bahwa Pemkab Bone menaikkan PBB-P2 sebanyak 65 persen.
Mereka berdalih kenaikan tersebut akibat dari penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) dari Badan Pertanahan Negara (BPN). Angkasa mengungkapkan, ZNT di Bone belum pernah diperbarui selama 14 tahun terakhir. (TIM/RN)