Menyalakan Semangat Menulis di Tubuh Birokrasi

oleh -154 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Muhammad Subhan

PEKAN lalu, saya memenuhi undangan KORPRI Padang Panjang untuk menjadi juri lomba ASN Menulis dalam rangka HUT KORPRI ke-54 Tahun 2025. Bersama juri lainnya, Dr. Dede Pramayoza, S.Sn., M.A. (Akademisi ISI Padang Panjang), dan Putra Dewangga, S.S., M.Si. (Kepala Bappeda Padang Panjang), di aula lantai 3 Kantor Bappeda Padang Panjang, saya membaca dan turut merekomendasikan naskah-naskah terbaik yang layak menjadi calon pemenang.

Banyak pandangan segar dari para aparatur Padang Panjang mengenai isu lingkungan, khususnya persoalan sampah, serta dinamika pengelolaan pasar di kota kecil yang rancak ini. Saya tertegun, ternyata banyak ASN yang diam-diam memendam gagasan strategis yang, setelah ditulis, dikembangkan, dipublikasikan, dan pada akhirnya dieksekusi oleh para pemangku kebijakan, akan berdampak positif bagi kemajuan kota.

Saya memberi apresiasi kepada KORPRI Padang Panjang yang telah menggagas lomba menulis di lingkungan birokrasi.

Tradisi menulis bagi ASN selalu menarik perhatian saya. Ia bukan sekadar kegiatan tambahan, bukan pula “keramaian musiman” tiap peringatan hari besar.

Menulis, bagi ASN, adalah bentuk kehadiran moral sekaligus intelektual.

Di tengah percepatan reformasi birokrasi, derasnya arus digitalisasi, dan meningkatnya kebutuhan publik akan transparansi, kemampuan menulis menjadi jembatan yang mempertemukan dunia birokrasi dengan denyut masyarakat.

Di sanalah saya melihat potensi besar yang belum sepenuhnya digarap.

Menulis membuat seorang aparatur tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga tampil sebagai pengolah pengetahuan.

Melalui tulisan, ASN dapat menafsir ulang pengalaman lapangan, menyusun analisis terhadap persoalan publik, dan menyampaikan gagasan yang mungkin tak tertampung dalam laporan rutin.

Tulisan memberi ruang untuk berpikir lebih jauh dari SOP (Standard Operating Procedure), membuka pintu kontemplasi, sesuatu yang sering hilang dalam hiruk-pikuk pekerjaan kantor.

Bagi publik, tulisan ASN menjadi jendela penting untuk memahami dinamika internal birokrasi. Banyak kebijakan pemerintah gagal diterima dengan baik bukan karena substansinya buruk, melainkan karena komunikasi publiknya lemah. Ketika ASN menulis opini, esai, atau refleksi kebijakan, mereka sedang membangun ruang dialog yang sehat. Mereka memberi penjelasan yang jernih, menyampaikan pertimbangan kebijakan, dan mengajak masyarakat ikut serta dalam agenda pembangunan. Tulisan menjadi penangkal simpang-siur informasi yang kerap menyesatkan opini publik.

Selain memberi manfaat eksternal, menulis juga memperkuat kapasitas intelektual aparatur itu sendiri. Proses merangkai gagasan melatih disiplin berpikir, ketelitian, dan kepekaan terhadap data. Dalam merumuskan program, menyusun laporan, atau mengambil keputusan, keterampilan menstruktur argumen menjadi sangat penting.

ASN yang terbiasa menulis akan lebih terampil memetakan masalah, lebih jernih melihat akar persoalan, dan lebih kreatif merumuskan solusi.

Lebih jauh lagi, karya tulis dalam bentuk buku menjadi warisan intelektual yang bernilai bagi birokrasi. Buku tentang pelayanan publik, pembangunan desa/nagari, pendidikan, kebencanaan, atau refleksi pengalaman lapangan dari perspektif ASN merupakan rujukan strategis bagi generasi berikutnya.

Di banyak negara maju, tradisi menulis pegawai publik dianggap sebagai indikator profesionalisme. Ia menjadi bukti bahwa birokrasi tak hanya menjalankan negara, tetapi juga memikirkannya.

Sayangnya, banyak ASN masih “takut menulis”. Ada yang khawatir dianggap terlalu vokal, tidak loyal, atau bahkan berisiko dipanggil atau ditegur atasan. Kultur birokrasi yang cenderung konservatif juga sering menciptakan jarak antara gagasan dan keberanian.

Ketakutan ini, bila dibiarkan, akan membuat birokrasi kehilangan energi kreatif yang justru dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.

Sikap strategis diperlukan agar ketakutan itu dapat dikendalikan tanpa mematikan semangat menulis. Memahami kode etik, aturan komunikasi instansi, serta batasan formal menjadi langkah awal yang aman. Mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan membantu ASN menulis secara bertanggung jawab. Tulisan dapat diposisikan sebagai pandangan personal, bukan representasi institusi, dengan menyertakan penjelasan yang sesuai.

Ruang internal juga dapat dimaksimalkan: majalah atau buletin dinas, forum diskusi, grup belajar, atau pertemuan lintas bagian. Dengan menguji gagasan secara terbatas, ASN dapat memperoleh masukan sebelum mempublikasikannya secara luas. Jejaring penulis internal menjadi “komunitas penyangga” yang memberi rasa aman sekaligus meningkatkan kualitas tulisan. Mereka saling membaca, memberi kritik, dan memperkuat narasi agar tetap konstruktif.

Bahasa yang solutif, berbasis data, dan berorientasi pada perbaikan akan mengurangi risiko disalahpahami sebagai kritik destruktif. Tulisan dapat diarahkan pada praktik baik, inovasi pelayanan, atau analisis persoalan tanpa menyudutkan individu. Tulisan yang argumentatif dan objektif akan lebih mudah diterima pimpinan, sekaligus berkontribusi pada budaya organisasi yang sehat.

Pada tataran institusi, pemerintah daerah dan organisasi seperti KORPRI memegang peran penting. Ekosistem menulis tidak tumbuh dari ruang kosong. Ia membutuhkan kebijakan yang menjamin kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab, penghargaan terhadap karya tulis ASN, serta kanal publikasi resmi yang aman dan terstruktur.

Ketika institusi melindungi dan memberi ruang, ketakutan berubah menjadi keberanian produktif.

Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan lomba menulis secara berkala, membuat jurnal inovasi daerah, menyediakan kanal digital untuk publikasi esai ASN, serta menerbitkan buku tahunan yang menghimpun tulisan-tulisan terbaik. Peluncuran buku, diskusi karya, dan bedah buku bukan hanya ajang selebrasi, melainkan juga penegasan bahwa birokrasi menghargai ilmu pengetahuan.

Komunitas menulis lintas instansi juga dapat menjadi ruang belajar kolektif yang menghubungkan ide dengan tindakan nyata.

Menulis tidak selalu harus mengkritik kebijakan. Justru banyak ruang kreatif yang dapat diisi ASN, seperti refleksi pengalaman lapangan, contoh praktik baik, ide pengembangan daerah, inovasi pelayanan publik, desain program lintas sektor, hingga strategi kolaborasi. Tulisan-tulisan ini dapat mempercepat lahirnya inovasi baru dan memperkuat koordinasi antarinstansi. Jika budaya menulis tumbuh, birokrasi akan lebih proaktif menyiapkan solusi daripada sekadar reaktif menghadapi masalah.

Demikianlah, menulis merupakan gerakan penguatan kapasitas birokrasi. Ketika seorang ASN berani berpikir dan menata pikirannya dalam bentuk tulisan, mereka sedang berkontribusi pada fondasi pengetahuan negara. Ketika institusi menyediakan ruang, pimpinan memberi teladan, dan organisasi mendukung, maka lahirlah ekosistem literasi yang sehat. Inilah obor yang kelak nyalanya mampu menerangi birokrasi: membuatnya lebih reflektif, kreatif, dan inovatif.

Saya percaya, seperti naskah-naskah yang saya baca pekan lalu, bahwa birokrasi Indonesia menyimpan banyak potensi intelektual. Yang dibutuhkan hanyalah ruang, keberanian, dan budaya literasi yang hidup. Jika ketiganya hadir, maka tulisan ASN akan menjelma menjadi energi perubahan yang berdaya guna bagi kota, daerah, dan negeri.

Menulis bukan sekadar hobi atau semata mengisi kekosongan waktu, tetapi juga cara sebuah birokrasi berpikir, dan cara sebuah bangsa bergerak menuju masa depan yang lebih cerah dan gemilang. []

Artikel ini sudah terbit di majalahelipsis.id

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.