Wisuda adalah Ritus Cinta dan Tanggung Jawab

oleh -306 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Sirilus Aristo Mbombo

Wisuda adalah sebuah momen yang tampak sederhana, hanya sekadar upacara akademik dengan toga, ijazah, dan seremonial yang penuh simbol. Namun di balik kesederhanaan itu, tersembunyi makna filosofis yang begitu dalam. Wisuda adalah puncak dari perjalanan panjang intelektual, spiritual, dan moral seorang mahasiswa, yang telah melewati lembah perjuangan, keringat, dan air mata. Ia bukan sekadar tanda berakhirnya kuliah, melainkan pengakuan bahwa seseorang telah menempuh sebuah proses pembentukan diri: menjadi manusia yang lebih matang, lebih berpengetahuan dan lebih bertanggung jawab. Maka setiap mahasiswa yang menyelesaikan proses perkuliahan, tanpa kecuali, harus diwisuda. Karena wisuda bukan hanya hadiah personal, tetapi sebuah pengakuan sosial bahwa ilmu telah berpindah dari ruang akademik menuju ruang pengabdian bagi masyarakat.

Apakah benar wisuda begitu penting? Jawabannya adalah ya, karena dalam filsafat simbol, manusia tidak hanya hidup dengan logika rasional, tetapi juga dengan simbol-simbol yang memberi makna. Upacara wisuda adalah simbol transisi, seperti upacara inisiasi dalam tradisi kuno, yang menandai perpindahan seseorang dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya. Mircea Eliade seorang filsuf, menegaskan bahwa manusia selalu membutuhkan ritus peralihan agar eksistensinya tidak sekadar berjalan datar, tetapi bermakna. Wisuda adalah ritus modern yang menandai kelahiran seorang intelektual: dari mahasiswa yang menuntut ilmu, menjadi sarjana yang berkewajiban menyalakan cahaya ilmu di tengah kegelapan masyarakat.

Namun wisuda bukanlah puncak yang mengakhiri segalanya, melainkan pintu yang membuka tanggung jawab baru. Dalam ucapan penuh syukur, “Wisuda ini bukan akhir, melainkan awal dari kesuksesanmu,” terkandung kesadaran bahwa pendidikan sejati tidak berhenti di ruang kelas. Albert Einstein pernah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan bukanlah akumulasi pengetahuan, melainkan pembentukan pikiran kritis dan watak yang bertanggung jawab. Maka wisuda hanyalah permulaan: permulaan dari perjalanan panjang untuk menjadikan ilmu bukan sekadar gelar yang dipajang, melainkan cahaya yang menerangi jalan bangsa.

Dalam perjalanan ini, mahasiswa yang diwisuda tidak boleh melupakan akar keberhasilannya. “Terima kasih, Bapak dan Mama, atas cinta tanpa batas dan segala pengorbanan yang tak terhingga untuk kebahagiaan kami semua.” Kalimat ini adalah pengakuan filosofis bahwa eksistensi manusia tidak pernah otonom sepenuhnya, melainkan lahir dari jaringan kasih sayang. Orang tua adalah landasan yang menopang, doa yang tak terlihat, dan kekuatan yang tak pernah lekang. Søren Kierkegaard menyebut cinta sejati sebagai pengorbanan yang memberi tanpa menuntut balasan, dan cinta orang tua adalah bentuk cinta itu yang paling murni. Maka, wisuda seorang anak adalah juga wisuda bagi orang tuanya, sebab setiap langkah anak adalah buah dari doa dan peluh mereka.

Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses dialogis yang membebaskan, bukan penindasan intelektual. Guru sejati bukan hanya pengajar, tetapi penuntun yang membangkitkan kesadaran kritis, sehingga murid dapat berdiri tegak menghadapi dunia. Wisuda adalah saat untuk menyadari bahwa keberhasilan seorang mahasiswa bukanlah buah dari kecerdasannya semata, melainkan juga dari dedikasi dosen yang membakar dirinya dalam pengabdian. Maka setiap toga yang dikenakan mahasiswa sesungguhnya menyimpan bayangan cinta orang tua dan dedikasi guru yang tak terlihat.

Lalu muncul pertanyaan filosofis: apakah dengan kehadiran orang-orang intelektual di tengah masyarakat dapat mengubah pola pikir lama dan memajukan bangsa Indonesia? Jawabannya bukanlah sederhana ya atau tidak, melainkan sebuah refleksi panjang. Sejarah membuktikan bahwa intelektual selalu memainkan peran penting dalam perubahan peradaban. Socrates, dengan dialektikanya, mengubah cara orang Yunani memandang kebenaran. Confucius, dengan ajarannya, membentuk tata moral dan politik Cina selama ribuan tahun. Di Indonesia, para pemikir pergerakan nasional, seperti Soekarno, Hatta, dan Natsir, adalah intelektual yang berani melawan kolonialisme dengan senjata gagasan.

Namun, perubahan pola pikir masyarakat tidak otomatis lahir hanya dengan hadirnya intelektual. Jika intelektual hanya berhenti pada menara gading akademik, maka ilmunya mati sebelum menyentuh realitas. Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, menekankan konsep “intelektual organik”: intelektual yang hidup bersama rakyat, memahami penderitaan mereka, dan menggunakan pengetahuan untuk membebaskan mereka. Intelektual sejati adalah mereka yang menjadikan ilmunya sebagai cahaya bagi yang tertindas, bukan sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Maka kehadiran sarjana di tengah masyarakat hanya akan mengubah pola pikir jika ia rela turun dari podium akademik menuju jalanan kehidupan, bersama rakyat yang masih berjuang dalam gelapnya ketidakadilan.

Pertanyaan selanjutnya: apakah ilmu benar-benar bisa memajukan bangsa? Jawabannya, ya, jika ilmu dipadukan dengan kebijaksanaan. Francis Bacon pernah berkata, “Knowledge is power.” Namun kekuatan itu bisa menjadi cahaya atau tirani. Jika ilmu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, ia akan melahirkan kesenjangan. Tetapi jika ilmu digunakan untuk melayani masyarakat, ia akan menjadi kekuatan yang membangun peradaban. Maka, wisuda bukan hanya soal ijazah, tetapi soal janji moral: bahwa ilmu yang diperoleh tidak akan dibiarkan menjadi beku, melainkan dipakai untuk mengangkat martabat manusia.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran para intelektual sangat dibutuhkan untuk menantang pola pikir lama yang sering terjebak dalam feodalisme, intoleransi, dan korupsi. Pendidikan adalah kunci untuk membuka belenggu itu. John Dewey menekankan bahwa pendidikan sejati adalah rekonstruksi pengalaman, yang membantu manusia menghadapi masalah nyata dalam masyarakatnya. Maka setiap wisudawan memiliki tugas: merekonstruksi pengalaman bangsa ini, agar keluar dari kegelapan menuju peradaban yang lebih adil dan manusiawi.
Wisuda adalah sebuah janji: janji untuk menjaga cinta orang tua, menghormati dedikasi guru, dan menjadikan ilmu sebagai cahaya bagi bangsa. “Pengetahuan bukan sekadar gelar, tapi kekuatan untuk membangun peradaban. Gunakan ia untuk mengangkat derajat bangsanya.” Inilah inti dari pendidikan. Plato dalam Republic menegaskan bahwa hanya filsuf yang layak memimpin, karena hanya mereka yang mampu melihat kebenaran di balik bayangan. Wisuda adalah momen untuk menyadari panggilan itu: bahwa setiap sarjana adalah pemimpin kecil yang membawa tanggung jawab besar.

Lalu bagaimana jika kegagalan menghadang? “Kegagalan hanyalah batu loncatan menuju kesuksesan.” Nietzsche mengingatkan bahwa penderitaan adalah bagian dari pembentukan manusia unggul. Dalam konteks pendidikan, kegagalan tidak boleh membuat kita menyerah, melainkan harus menjadi batu pijakan untuk melompat lebih tinggi. Maka setiap wisudawan harus berani gagal, berani bangkit, dan berani bermimpi besar untuk bangsanya.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis itu membawa kita pada satu kesimpulan: setiap mahasiswa harus diwisuda, karena wisuda adalah simbol pengakuan sosial atas perjalanan ilmu dan moral. Kehadiran intelektual memang dapat mengubah pola pikir lama, asalkan mereka mau menjadi intelektual organik yang hidup bersama rakyat. Orang tua dan guru adalah basis yang tak boleh dilupakan, karena dari merekalah lahir cinta dan ilmu yang menopang perjalanan ini.

Sebagaimana Marcus Aurelius menulis dalam Meditations: “Apa yang tidak bermanfaat bagi kawanan, tidak bermanfaat pula bagi seekor domba.” Ilmu yang tidak bermanfaat bagi masyarakat bukanlah ilmu sejati. Maka wisuda adalah perayaan bukan hanya keberhasilan pribadi, melainkan juga harapan bagi bangsa. Wisuda adalah doa agar cahaya ilmu tidak pernah padam, doa agar intelektual menjadi lentera dalam kegelapan negeri, doa agar bangsa Indonesia terus berjalan menuju masa depan yang penuh keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – Nusa Tenggara Timur

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.