Menimbang Dana Parkir Negara sebagai Penggerak Ekonomi

oleh -252 Dilihat
banner 468x60

Keberanian tanpa dibarengi aturan ketat dan transparansi berujung pada ilusi fiskal.

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan baru saja melakukan langkah strategis yaitu dengan mengalihkan dana parkir negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia kepada bank-bank nasional. Adapun dana yang digelontorkan hampir setengah dari total dana parkir yang mengendap di Bank Indonesia yaitu senilai Rp425 triliun. Dengan harapan kebijakan langkah ini dapat menjadi stimulus vital untuk menggerakkan sektor kredit produktif, melalui percepatan belanja daerah, guna mendorong ke arah pertumbuhan ekonomi nasional yang tengah melambat.

Sebenarnya konsep penggunaan dana parkir sendiri bukan hal baru sama sekali. Karena juga ada tercatat penggunaan dana pemerintah yang “parkir” di rekening BI yang juga hasil pendapatan di tingkat daerah yang menjadi kemudian bagian pendapatan asli daerah (PAD). Perbedaan kali ini skala penyaluran dana parkir yang signifikan langsung menuju kepada sektor produktif belum pernah dilakukan di Indonesia.

Dengan kebijakan ini maka aliran dana menjadi lebih longgar menurunkan suku bunga kredit dan mempermudah akses modal bagi UMKM, petani, dan sektor industri kecil. Dimana uang yang selama ini mengendap di rekening pemerintah diharapkan mampu menggerakkan sektor riil, untuk bisa menciptakan multiplier effect, yaitu membuka lapangan kerja, dan menambah daya beli masyarakat.

Merujuk pada pengalaman negara lain menunjukkan bahwa melalui pengelolaan dana pemerintah yang mengendap telah menjadi perhatian global. Dimana beberapa negara juga memanfaatkan dana likuid untuk program stimulus ekonomi, dilakukan dengan catatan, yaitu memerlukan adanya koordinasi ketat antar lembaga pengelola.

Yang bila tidak bisa terkelola baik, dana tersebut sama saja hanya berpindah ke instrumen aman tanpa ada dampak pada ekonomi riil dan bahkan bisa memicu risiko inflasi.

Demikian juga bank penerima dana, bila tanpa ada kejelasan aturan bisa saja kemudian memilih memindah dana ke instrumen yang aman seperti obligasi pemerintah, dibanding harus susah payah bekerja menyalurkan kredit produktif yang bisa berisiko, sementara demikian juga daerah yang kerap lamban dalam menyerap anggaran yang terkendala akibat keterbatasan SDM atau sinergi lemah dengan pelaku usaha lokal. Kebijakan ini berpotensi membuat dana mengendap kembali ke rekening atau deposito daerah, yang akhirnya jadi menghambat target pertumbuhan dan pembangunan.

Selain daripada itu resiko pada inflasi lokal harus mampu diantisipasi apabila belanja daerah meningkat tanpa diimbangi produksi barang dan jasa yang memadai. Oleh karena itu, sungguh diperlukan koordinasi efektif antara Bank Indonesia, bersama Kementerian Keuangan, dan juga Otoritas Jasa Keuangan menjadi amat penting untuk menjaga terjadinya keseimbangan likuiditas.

Maka keberhasilan inisiatif ini sungguh tergantung pada penetapan target dari penyaluran kredit produktif yang jelas, sektor prioritas, serta untuk jangka waktu pencapaian, selain kontrol atas adanya transparansi realisasi serta dampaknya kepada masyarakat.

Pada akhirnya, yang utama bukan besaran dana yang dialirkan, melainkan apakah dana tersebut memang sungguh mampu memberikan napas baru terhadap ekonomi rakyat. Maka harapan kita keberhasilan daripada kebijakan ini akan menjadi tonggak sejarah fiskal berani dilakukan untuk memberi hasil nyata. Sebaliknya jika gagal, yang tersisa adalah ilusi fiskal yang menjadi catatan besar tanpa makna bagi pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.

Sabtu, 20 September 2025

Oleh: Yoga Duwarto

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.