Melukis Dunia yang Terlupakan

oleh -92 Dilihat
banner 468x60

[sebuah sisipan untuk Lakon ‘Melukis Dunia’ karya TERAS]

Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge

Di tengah riuh teknologi, di antara gelombang digital yang tak henti, teater Melukis Dunia hadir. Karya TERAS dari Seminari San Dominggo, dipentaskan oleh SMAS San Dominggo Hokeng, di Festival Seni Remaja, Taman Kota Felix Fernandez, Larantuka. Ia bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah cermin. Cermin yang retak, memantulkan wajah remaja hari ini.

Anton berdiri di tengah panggung. Remaja yang tumbuh tanpa pelukan ibu. Yang hidup dalam bayang dingin sang ayah. Ia mencari suara, di tengah sunyi yang panjang.

Teater ini bersuara. Tentang luka yang tak terlihat. Tentang jiwa muda yang kehilangan arah. Tentang spiritualitas yang nyaris tenggelam, di lautan notifikasi dan layar biru.

Melukis Dunia bukan hanya cerita. Ia adalah jeritan lembut, tentang harapan yang ingin kembali. Tentang remaja yang ingin dikenal, didengar, dan diselamatkan.

Anton bukan sekadar karakter fiktif. Ia adalah representasi dari ribuan remaja yang tumbuh dalam kekosongan emosional, kehilangan figur kasih sayang, dan akhirnya mencari pelarian dalam dunia maya.

Dalam perspektif sosiologi agama, keluarga adalah institusi primer dalam pewarisan nilai-nilai transenden. Ketika fungsi ini melemah, remaja seperti Anton menjadi rentan terhadap alienasi spiritual. Terputus dari makna, komunitas, dan arah hidup yang lebih dalam.

Teater ini juga menyuguhkan kritik sosial yang tajam melalui adegan pertemuan antara sekelompok remaja dan sosok “orang tidak waras.” Ironisnya, justru tokoh yang dianggap gila itu memiliki kesadaran akan kemanusiaannya, sementara para remaja larut dalam pencarian followers, game online, dan judi digital.

Ini adalah potret sekularisasi yang merembes ke dalam jiwa muda: ketika nilai-nilai religius dan etis tergantikan oleh popularitas dan kenikmatan instan.

Namun, “Melukis Dunia” tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan harapan. Di akhir cerita, Anton dan teman-temannya mengalami titik balik. Mereka menyadari bahwa pelarian mereka ke dunia maya telah merugikan masa depan mereka.

Kesadaran ini menjadi momen spiritual: titik di mana nilai-nilai dasar keluarga, pendidikan karakter, dan harapan bangsa kembali menemukan tempatnya.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan religius, teater ini menjadi seruan untuk membangun kembali fondasi spiritual dalam keluarga dan masyarakat. Remaja bukan hanya pelukis dunia dalam arti teknologis, tetapi juga pelukis nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan.

Jika keluarga mampu hadir sebagai ruang damai dan pendidikan karakter, maka generasi muda akan tumbuh sebagai harapan bangsa yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga matang secara spiritual.

Melalui panggung teater, “Melukis Dunia” mengajak kita semua untuk merenung: apakah kita masih memberi ruang bagi spiritualitas dalam kehidupan remaja? Ataukah kita telah membiarkan mereka melukis dunia yang hampa, tanpa warna kasih, makna, dan harapan?

Sudah saatnya kita kembali ke akar. Menjadikan keluarga sebagai ruang pertama kasih, pendidikan sebagai taman nilai, dan seni sebagai suara jiwa yang menyembuhkan.

Di tengah riuh teknologi, di antara layar yang tak pernah padam, remaja berdiri di persimpangan. Mereka bukan sekadar pengguna gawai, bukan sekadar penikmat dunia maya.

Mereka adalah penjaga masa depan. Penulis bab baru sejarah bangsa. Pemilik mimpi yang menunggu untuk ditumbuhkan. Dan untuk itu, mereka butuh pelukan keluarga, bimbingan yang jujur, dan seni yang menghidupkan nurani.

Mari kita rawat mereka. Dengan cinta yang mendidik. Dengan nilai yang membebaskan. Dengan seni yang menyentuh luka dan mengubahnya menjadi harapan.***

Penulis adalah Pegiat Bengkel Teater Atma Reksa (AREK) EndeFlores

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.