Kali ini kita meringkas buku; Francis Fukuyama yang berjudul “Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy” (2014) yang sangat relevan dengan isu keteraturan dan kemunduran politik di Indonesia dimana ada rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali Siskamling di seluruh Indonesia.
Francis Fukuyama dalam buku ini membahas bagaimana negara-negara membangun tata politik (political order) dan mengapa sebagian berhasil mencapai stabilitas, sementara yang lain justru terjebak dalam kemunduran politik (political decay). Menurut Fukuyama, ada tiga pilar utama yang menentukan kualitas tata pemerintahan: (1) Negara yang efektif (strong state) – kapasitas birokrasi yang mampu menegakkan hukum, menjalankan kebijakan, dan melayani publik; (2). Rule of Law (supremasi hukum) – hukum yang berlaku bukan hanya untuk rakyat, tetapi juga membatasi kekuasaan penguasa; (3) Akuntabilitas demokratis – mekanisme agar pemerintah bertanggung jawab pada rakyat, baik melalui pemilu maupun kontrol masyarakat sipil.
Ketiga unsur ini harus berjalan seimbang. Jika satu unsur terlalu dominan atau lemah, negara bisa mengalami kemunduran politik. Fukuyama menekankan bahwa order politik tidak datang secara otomatis. Ia lahir dari sejarah panjang pembentukan negara. Negara-negara yang berhasil biasanya memiliki birokrasi profesional, sistem hukum yang independen, dan tradisi akuntabilitas. Contoh yang ia angkat adalah: Tiongkok: negara dengan birokrasi tua yang sangat kuat, tetapi lemah dalam rule of law dan akuntabilitas. Amerika Serikat: kuat dalam rule of law dan akuntabilitas, tetapi sering menghadapi masalah kapasitas negara karena birokrasi kerap dipolitisasi.
Kemunduran politik terjadi saat institusi gagal beradaptasi dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Menurut Fukuyama, decay biasanya tampak melalui:Korupsi: jabatan publik dipakai untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Patrimonialisme: negara dikuasai oleh jaringan keluarga, kekerabatan, atau oligarki. Clientelism: politik transaksional antara elit dan massa melalui patronase (bagi-bagi jabatan, proyek, uang). Institutional Rigidity: lembaga yang tidak mau beradaptasi justru menjadi sumber ketidakstabilan.
Relevansi ke Indonesia Saat Ini. Jika menggunakan kerangka Fukuyama, kondisi Indonesia bisa dipetakan sebagai berikut:
a. Negara yang Efektif. Kekuatan: Indonesia memiliki birokrasi yang cukup luas, struktur pemerintahan dari pusat sampai desa, serta pengalaman panjang dalam tata kelola negara. Kelemahan: birokrasi sering terjebak dalam patrimonialisme. Banyak jabatan diberikan atas dasar kedekatan politik, bukan meritokrasi. Fenomena “jual beli jabatan” atau penempatan orang dekat di posisi strategis menunjukkan gejala political decay.
b. Rule of Law. Kekuatan: Ada lembaga penegak hukum seperti KPK, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Secara formal hukum Indonesia mengikat semua warga. Kelemahan: hukum sering tunduk pada kekuasaan dan uang. Kasus korupsi besar sering berakhir dengan vonis ringan atau impunitas. Misalnya, pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang tahun 2019 dianggap sebagai tanda kemunduran rule of law.
c. Akuntabilitas Demokratis. Kekuatan: Indonesia memiliki pemilu reguler dan relatif terbuka, partisipasi rakyat tinggi, serta media dan masyarakat sipil yang masih aktif. Kelemahan: praktik clientelism sangat kuat. Politik uang masih merajalela, partai lebih sibuk membagi kursi kekuasaan daripada memperjuangkan program rakyat. Fenomena koalisi besar pasca-Pemilu 2024, misalnya, menunjukkan lemahnya oposisi dan akuntabilitas.
Contoh Kasus Indonesia – Political Decay dalam Praktik. Korupsi bansos dan proyek infrastruktur: menunjukkan penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Dinasti politik di daerah: semakin banyak kepala daerah berasal dari keluarga politisi, menandakan patrimonialisme menguat. Kriminalisasi aktivis dan pelemahan KPK: mengindikasikan rule of law dipakai sebagai alat politik. Koalisi gemuk tanpa oposisi: mengurangi akuntabilitas, sebab hampir semua partai masuk pemerintahan. Semua ini sesuai dengan diagnosis Fukuyama bahwa tanpa keseimbangan antara kapasitas negara, rule of law, dan akuntabilitas demokratis, sebuah negara bisa mengalami political decay meski secara formal tetap demokratis.
Buku Fukuyama menegaskan bahwa tantangan terbesar demokrasi modern bukan hanya membangun negara, tetapi mencegah kemunduran institusi. Indonesia, meski berhasil mempertahankan demokrasi pasca-1998, kini menghadapi ancaman political decay berupa korupsi, clientelism, dan melemahnya rule of law.
Jika tidak diatasi, demokrasi Indonesia berisiko menjadi sekadar prosedural tanpa substansi, di mana pemilu tetap berjalan, tetapi negara dikuasai oleh oligarki dan rakyat kehilangan kepercayaan.
Oleh: Goris Sahdan