Apakah Pancasila Dikubur dalam Timbunan Retorika?

oleh -228 Dilihat
Vector of Illustration of Indonesia Symbol Garuda
banner 468x60

Pada pertemuan Paus Johanes Paulus II ada berpesan “Jaga Pancasila jiwa bangsa Indonesia, karena warisan untuk dunia”

Sekarang memang bukan di bulan Pancasila, namun seharusnya dalam setiap saat denyut dinamika bangsa, nilai-nilai Pancasila tetap menjadi nafasnya. Lihatlah setiap kali pergantian rezim, selalu terdengar rentetan janji sama, yang mengatakan Pancasila adalah dasar, pedoman, dan kompas bangsa.

Namun bagaimana terlihat kenyataannya, Pancasila lebih sering tampil sebagai jargon politik ketimbang napas kehidupan dari penyelenggaraan negara. Sehingga yang jadi pertanyaan, apakah Pancasila masih sebagai roh, atau malah sedang dikubur makin dalam timbunan retorika?

Baiklah bersama melihat dari praktik kebijakan sekarang dimana keadilan sosial dijunjung tinggi dalam pidato, namun jurang ketimpangan ekonomi kian melebar. Tersebut dalam data BPS per Maret 2025 mencatat dari koefisien Gini Indonesia stagnan pada angka 0,388 memang ada kenaikan tipis tapi tetap menandakan adanya kesenjangan pendapatan yang tak kunjung terurai. Sementara dilain sisi, subsidi energi dan pangan pada implementasi sering lebih berpihak pada kelas menengah ke atas ketimbang kepada kelompok miskin yang harusnya dilindungi.

Selanjutnya pada sisi kemanusiaan sering dielu-elukan, tetapi apakah nasib buruh migran diluar negri, yang kerap menjadi korban kekerasan sudah cukup berani diperjuangkan? Demikian juga apakah benar ada perlindungan pekerja di dalam negeri, yang masih banyak bergaji bernasib jauh lebih rendah daripada kebutuhan layak, sudah mencerminkan nilai penghormatan martabat manusia? Bahkan semakin membuat miris hasil OTT di lingkaran Depnaker adanya penyuapan tingkat dewa memamerkan kendaraan papan atas.

Lebih ironis lagi jika melihat intoleransi masih menjalar. Laporan Setara Institute 2024 mencatat 327 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 522 tindakan intoleransi. Negara yang seharusnya menjadi pengayom justru sering kali menutup mata, atau malah tunduk ketakutan pada tekanan massa. Jika rumah ibadah bisa ditutup hanya karena desakan segelintir orang, apakah benar kebebasan beragama dilindungi, atau hanya slogan yang dilantunkan tiap upacara?

Lalu bagaimana juga persatuan bangsa Indonesia yang selalu diagungkan di atas panggung seremonial, pada kenyataan terjadi pembiaran dan sering digerogoti oleh praktik politik yang memecah belah, membelah rakyat ke dalam kubu “kami” yang bukan “mereka”. Bahkan media sosial berubah menjadi arena saling caci antara anak bangsa, di mana buzzer rupiah lebih dihargai karena rupiah yang dihasilkan daripada suara jernih rakyat.

Bagaimana pula dengan demokrasi yang acapkali digembar-gemborkan? Bersama melihat lembaga negara yang semakin gemuk, tapi sebaliknya daya kritis terhadap pemerintah semakin kurus kering. Rakyat memang masih bisa memilih lima tahun sekali, namun setelah itu, aspirasi sering tenggelam dalam serangan fajar, adu bansos transaksi politik. “Musyawarah mufakat” yang menjadi tradisi luhur telah berubah wajah menjadi “koalisi gemuk” yang sering kali justru lebih sibuk berbagi kursi kamu dapat apa daripada sungguh memikirkan substansi kebijakan.

Dan terakhir adalah puncak Pancasila yaitu soal keadilan. Bagaimana bisa tanah rakyat dengan mudah digusur demi proyek infrastruktur, sementara koruptor kelas kakap bisa sibuk menghitung keuntungan malah dari ruang tahanan mewah. Disisi lain rakyat kecil ketakutan bahkan bunuh diri akibat dikejar hutang pinjol, sementara oligarki justru bisa menikmati bunga rendah dari kredit besar.

Wajah dari integritas penyelenggara negara pun memprihatinkan. Tercatat data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sepanjang 2024 masih ada lebih dari 500 kasus korupsi yang ditangani, mayoritas melibatkan pejabat publik. Apakah ini wajah dari bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur?

Beberapa ilustrasi saat arah kebijakan menjadi menyimpang dari Jiwa Pancasila dirasakan saat pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), yang digadang gadang sebagai pemerataan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi yang terasa justru membuat utang luar negeri yang menumpuk. Bahkan warga adat di Kalimantan harus rela angkat kaki dari tanah leluhur, sementara justru investor bertepuk tangan. Jika pembangunan telah mengorbankan yang kecil demi yang berkuasa, apa masih ada ruh keadilan Pancasila?

Ilustrasi selanjutnya mengenai kebijakan agraria, terdapat data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2024 yang mencatat 241 konflik agraria dengan luas lebih dari 600 ribu hektare. Bagaimana korporasi dilindungi atas nama PSN sedangkan rakyat kecil justru disingkirkan. Dengan demikian negara berdiri di sisi siapa?

Ketergantungan Asing yang masih tinggi terlihat pada besaran hutang per Juli 2025 telah menembus Rp8.500 triliun. Pembangunan yang dibiayai dari hutang, cicilannya diwariskan ke generasi berikut. Apakah ini yang dimaksud tujuan Pancasila untuk berdikari, atau justru bergantung pada belas kasih kreditor internasional?

Bagaimana penyelesaian kasus-kasus HAM yang selalu disampaikan, dalam seremoni, tetapi keadilan tidak pernah datang. Luka korban tetap saja dibiarkan bernanah. Apakah kemanusiaan sudah ditegakkan dengan sekadar pidato dan foto bersama?

Apakah ini semua wajah negara yang katanya berjiwa Pancasila? Ataukah Pancasila cukup wajib dikumandangkan setiap 1 Juni, 17 Agustus, dan ada dalam tiap kurikulum sekolah, untuk kemudian dilupakan maknanya dalam setiap isi rancangan undang-undang, kebijakan fiskal, atau keputusan politik?

Kalau demikian yang selalu terjadi, jangan salahkan generasi muda bila mereka semakin sinis. Karena mereka melihat Pancasila bukan lagi sebagai ideologi hidup, melainkan tidak lebih poster tua yang dipajang di dinding kantor pemerintah. Bukan lagi sebagai kompas arah, melainkan jadi slogan basi yang diputar berulang kali tanpa makna.

Tulisan ini sungguh bukan untuk menolak Pancasila, sebaliknya untuk kita kembali menegaskan Pancasila sebagai realitas yang hidup, bukan sebatas retorika mengubur Pancasila. Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia bukan sekadar hafalan, Pancasila adalah tuntutan yang harus dihidupkan dalam kebijakan nyata. Jika pemerintah dianggap gagal, rakyat tetap punya hak dan kewajiban untuk terus bertanya, bahkan menggugat kembali apakah Pancasila masih dipeluk, atau hanya dipajang.

Jadi apakah benar Pancasila semakin terkubur dalam timbunan retorika? Atau bersama kita berani menggali kembali Pancasila menjadikannya roh bangsa? Jawabannya tentu ada pada kita semua anak bangsa dan terutama pada pemerintah yang telah diberi amanat untuk setiap saat mengklaim “berpihak pada rakyat”.

Minggu, 21 September 2025

Oleh: Yoga Duwarto

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.